
Hermawansyah Praktisi Senior Kelompok Masyarakat Sipil Kalbar.
Pojokdesa.id. – PONTIANAK – 21 Mei 1998 adalah momentum puncak keberhasilan gerakan mahasiswa menumbangkan rezim kleptokrasi Orde Baru (ORBA).
Tentu gerakan mahasiswa saat itu didukung oleh segenap komponen bangsa. Dari buruh, tani, masyarakat miskin kota samapai elit dengan kesepakatan ciganjur bersatu-padu kompak satu suara : TURUNKAN SOEHARTO.
Kita ingat bagaimana Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Sultan Hamengkubowono sepuluh dan Amin Rais memainkan peran penting dalam sejarah transisi ORBA ke Reformasi. Sebab dosa dan pelanggaran yang dilakukan Soeharto beserta kroninya sudah tidak terhitung jumlahnya.
Tak cukup satu lembar tabel exel untuk menginput berbagai masalah yang ditimbulkan Soeharto dan Kroninya selama 32 tahun Orba berkuasa. Namun mahasiswa saat itu mampu merumuskan anatomi masalah yang dikumandangkan dengan tiga isu dan tuntutan.
Tiga isu dan tuntutan tersebut yakni Tolak Dwi Fungsi ABRI, Berantas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (KKN) dan Laksanakan Otonomi Daerah.
Dari Basis Materiil itulah yang membuat elit, intelektual kampus, aktivis masyarakat sipil hingga pengusaha bergerak untuk menyelamatkan keadaan bangsa dan negara.
Apalagi dipicu sentimen negatif pasar global yang sedang mengalami krisis moneter dengan nilai tukar dolar ke rupiah menus angka 17 ribu rupiah.
Mengambil petikan kata “Harga barang melambung tinggi dan susu tak terbeli” dari musis ternama Iwan Fals yang menyemangati perlawanan anak-anak muda bergerak dilapangan demontrasi.
Walhasil, malam pada tanggal 21 Mei 1998, di istana negara Soeharo menyatakan BERHENTI. Saat itu tokoh lintas segmen juga ramai di istana menyampaikan masukan dan desakan langsung agar Soeharto mengundurkan diri.
Dua Puluh Tujuh (27) Tahun Reformasi ?
Sejak 1999 hingga 2024, Indonesia telah melaksanakan 6 kali Pemilu. Rotasi kepemimpinan nasional berlangsung secara gradual. Sejak Gus Dur, lalu ditengah jalan digantikan Megawati, SBY hingga Jokowi selama dua periode, masalah-masalah yg dihadapi seolah kembali pada situasi yg memicu perlawanan mahasiswa pada 1998 silam.
Seolah merasakan ‘dejavu’ setelah revisi UU TNI, lalu KKN semakin menggurita, hal ini tak terlepas dari peninggalan 10 tahun Jokowi berkuasa di Indonesia. Semangat otonomi daerah yang makin hari tergerus dengan berbagai skema kebijakan terpusat, atau re-sentralisasi. Disisi lain, kurs rupiah terhadap dolar yang terus tertekan masih bertengger diatas 16 ribu rupiah.
Tak hanya itu, lapangan pekerjaan baru tak kunjung tiba. Yang ada pengangguran baru akibat PHK yang tak terbendung. Padahal 1 Mei kemaren Presiden mencanangkan akan membentuk Satgas PHK, serta Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan lain-lain.
Sentimen publik juga naik-turun terhadap kebijakan-kebijakan baru yang ditempuh Prabowo. Sebab dosa masa lalu Jokowi semakin hari faktanya terbuka dan itu akan terus menjadi beban Presiden Prabowo dalam menjalankan pemerintahannya kedepan.
Adapun program Makan Bergizi Gratis (MBG) dilapangan masih kacau. Sementara Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih menurut bayangan publik akan berjalan carut-marut. Ini akibat ambisi pemerintah yg menabrak prinsip, philosofi serta asas koperasi.
Selain itu Danantara yang digadang-gadang sebagai benchmark pemerintah juga masih berproses. Sehingga wajar publik masih banyak yang pesimis, walau tidak sedikit yang realistis dan rasional.
Terus apakah kita biarkan aja keadaan ini berlangsung demikian adanya? Apakah kita yakin ‘track’ yg ditempuh pemerintah sesuai dengan ekspektasi publik? Yg ada malah Soeharto lagi diusulkan utk jadi pahlawan nasional. Lalu ? Jawabannya hanya satu “Mari Bergerak, sekarang atau terlambat”.
*M E R D E K A*
Penulis; Hermawansyah
Presidium Front Mahasiswa Kalbar – FMIKB 1998.
Parlemen Mahasiswa Kalbar – 1999
Ketua DPC GMNI Kota Pontianak – 2000-2002