
Helmi Hidayat Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi).
Pojokdesa.id – Apakah Nabi SAW melakukan isra dan mi’raj secara fisik (badan, jiwa dan ruh), atau hanya jiwa saja; atau tidak semuanya sebab peristiwa itu hanya berlangsung dalam mimpi? Benarkah Nabi mengendarai Bouraq? Rasulullah mendapat perintah salat dalam mi’raj; kalau begitu apakah sebelum itu Nabi tidak melaksanakan salat? Benarkah terjadi tawar-menawar jumlah salat antara Nabi dengan Allah SWT?
Semua pertanyaan di atas selalu muncul setiap saya menghadiri diskusi, atau selesai berceramah, tentang Isra’ Mi’raj. Ini terjadi karena sejumlah ulama bukan saja berbeda pendapat tentang cara Nabi berisra dan bermi’raj, tapi masyarakat modern juga mulai mempertanyakan soal ini.
Pendapat pertama menyatakan Nabi menjalani Isra dari Makkah ke Baitul Maqdis dalam bentuk manusia utuh, terdiri atas fisik, jiwa dan ruh; tapi bermi’raj hanya dengan jiwa. Buktinya, saat berisra, Nabi melewati kafilah Suraqah yang untanya tersesat lalu ia menunjukkan kafilah itu arah yang benar. Nabi juga meminum air dari bejana milik kafilah lain dan menutupnya kembali. Saat dikonfirmasi, kedua kafilah itu membenarkan kejadian itu.
Pendapat kedua menyatakan Nabi berisra’ dan bermi’raj lewat mimpi. Artinya, hanya jiwanya yang melakukan pengalaman ajaib itu, sementara fisik tertinggal di Makkah. Argumentasi ini diungkapkan oleh Muhammad Husain Haekal dalam bukunya, ‘’Hayaatu Muhammad’’ terbitan Mesir. Haekal mengutip Ummu Hani (Hindun binti Abi Thalib) bahwa Nabi menginap di rumahnya saat peristiwa itu terjadi. Setelah membangunkan Ummu Hani sebelum subuh, Nabi bercerita bahwa ia telah pergi ke Masjidil Aqsa dan melaksanakan shalat di sana.
Pendapat yang paling banyak diterima para ulama adalah baik saat berisra’ maupun bermi’raj, Rasulullah melakukannya sebagai manusia utuh. Jika hanya lewat mimpi, bangsa Arab tak akan kagum padahal mereka butuh diperlihatkan mukjizat.
Tapi, timbul pertanyaan, jika Nabi melakukan isra mi’raj sebagai manusia utuh, bagaimana mungkin saat melesat super cepat tubuhnya tidak hancur? Para pendukung pendapat ini mengatakan Nabi masuk dalam dekapan Jibril dan karena itu selamat dari konsekuensi hukum alam. Jika pendapat ini diyakini, maka jika Nabi berisra dan bermi’raj hanya dengan jiwa akan lebih masuk akal. Sebagai makhluk astral, jiwa lebih bisa bersenyawa dengan malaikat yang terbuat dari unsur listrik.
Tapi pendapat terakhir ini tidak berarti menyalahkan pendapat bahwa makhluk kasar seperti manusia bisa masuk dalam dekapan Jibril. Buktinya, kata mereka, dalam kasus sihir banyak ditemukan kasus paku (benda kasar) masuk dalam tubuh manusia. Itu terjadi akibat paku masuk dalam dekapan jin, lalu jin masuk dalam tubuh manusia, kemudian dia keluar lagi sambil meninggalkan paku di dalam tubuh manusia tadi.
Jika benar tubuh Nabi masuk dalam dekapan Jibril yang bisa terbang sangat cepat, lalu apa fungsi Bouraq? Banyak orang kemudian membanding-bandingkan Bouraq yang diungkapkan hadist riwayat Muslim, yakni hewan putih panjang yang lebih besar dari keledai tapi lebih kecil dari baghal (anak kuda), mirip Pegasus dalam mitologi Yunani. Sampai di sini, makna Bouraq dalam hadits Rriwayat Muslim itu harus diinterpretasi ulang. Misalnya, bukankah bouraq adalah bahasa Arab yang berarti kilat atau petir?
Sekarang tentang salat, benarkah syariat ini diturunkan saat Nabi bermi’raj 27 Rajab di tahun ke-10 kenabian? Jawabannya tidak sebab sebelum masuk Islam, Ali bin Abi Thalib pernah menyaksikan Nabi Muhammad salat bersama Khadijah. Salat di awal sejarah Islam inilah yang justru memotivasi Ali sebagai remaja masuk Islam.
Jika sebelum bermi’raj Rasulullah sudah melaksanakan salat, mengapa begitu populer bahwa perintah salat diturunkan saat Nabi bemi’raj? Perintah salat sudah diturunkan kepada Nabi 10 tahun sebelum peristiwa isra mi’raj, namun selama 10 tahun itu pula Rasulullah baru diperintahkan salat subuh dan isya.
Dengan demikian, perintah salat dalam peristiwa mi’raj bukanlah perintah menjalankan salat itu sendiri, melainkan turunnya perintah atas waktu-waktu dan bilangan salat.
Dalam hadits sahih riwayat Muslim itu disebutkan semula ada 50 salat yang Allah wajibkan untuk umat Nabi Muhammad. Tapi Nabi Musa yang ditemuinya di langit keenam meminta agar Nabi memohon keringanan dari Allah agar jumlah salat dikurangi. Nabi akhirnya bolak-balik dari langit keenam menuju Arsy sampai sembilan kali hingga akhirnya Allah hanya mewajibkan manusia modern salat lima kali sehari dengan pahala seolah 50 kali salat.
Hadis yang menjelaskan kisah ini masuk kategori sahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim. Namun demikian, dalam banyak forum diskusi, banyak kawan mengajak untuk menganalisis kembali hadis ini secara lebih kritis.
Misalnya timbul pertanyaan, bukankah Allah Maha Suci dan Maha Tahu, yang karena kesucian-Nya, sampai-sampai Jibril tak berani melangkah lebih maju satu atmosphere lagi mendekati Arsy Allah. Jika nekat masuk atmosphere itu lebih dekat lagi pada Arsy Allah, maka akan terbakarlah Jibril lalu fana dalam kebesaran Diri Allah.
Jika Allah digambarkan begitu Suci dan Agung, bagaimana mungkin Nabi Muhammad sampai bolak-balik sembilan kali bernegosiasi agar jumlah salat dikurangi dari 50 jadi tinggal lima?
Tulisan ini, sekali lagi, tidak bermaksud atau dimaksudkan untuk tidak mempercayai kesahihan hadis riwayat Muslim itu. Tapi, demi menegaskan kebesaran Allah dan kesantunan akhlak Nabi Muhammad, tampaknya boleh jika kita bertanya jangan-jangan hadis ini sengaja dibesar-besarkan oleh kaum Yahudi lebih karena tokoh dalam hadis yang meminta Nabi Muhammad mengurangi jumlah salat itu adalah Musa, nabi kebanggaan Yahudi. Diam-diam mereka cemburu kebesaran Musa dikalahkan oleh kebesaran Muhammad SAW dalam peristiwa Isra Mi’raj.
Dalam ilmu musthalah hadis dibenarkan umat Islam mempertanyakan sebuah hadis, demi kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Maka, tidak berlebihan kiranya jika hadis tentang kisah bolak-balik Nabi Muhammad menuju Arsy Allah itu tetap dipercaya sebagai hadis, apalagi derajatnya sahih, tapi sudah saatnya materi hadis itu di interprestasi ulang.
Umat Islam wajib bersyukur, oleh-oleh paling bernilai dari peristiwa mi’raj adalah perintah salat lima waktu. Tata cara salat pasca Mi’raj ini bukan hanya seragam untuk umat Islam sedunia, tapi juga mengandung pesan-pesan egalitarianisme, persamaan hak di antara umat manusia. Setiap orang yang dianggap mampu berhak menjadi imam tanpa pertimbangan status sosial dan kepemimpinan sang imam berakhir dengan berakhirnya sebuah salat berjamaah.
Lewat salat Allah mendidik umat manusia agar tertib, disiplin, dan taat aturan yang semuanya bermanfaat buat kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika seseorang sudah selesai jadi imam salat, hendaknya ia pandai menempatkan diri sebagai makmum lagi dan tidak merasa selamanya menjadi imam, agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan dalam satu salat berjamaah. Salat mengajarkan kita moral hakiki dalam berdemokrasi. Tuhan, terima kasih Engkau turunkan untuk kami ibadah salat.
Oleh: Helmi Hidayat (Wakil Ketua Umum PP. Baitul Muslimin Indonesia)